BOGOR, SERUJI.CO.ID – Tiga hari menjelang Lebaran Idul Fitri 1439 Hijriah/2018, warga Kampung Ketupat, Cimahpar, Kota Bogor, Jawa Barat sibuk menyelesaikan pesanan ketupat, Selasa (12/6).
Erna Susila (40) salah satu pengrajin ketupat menerima pesanan hingga 2.000 ketupat untuk hari esok, dan pesanan terus datang hingga hari Lebaran.
Ia mengatakan, sejak Ramadhan permintaan akan ketupat meningkat dari hari-hari biasanya. Jika sehari ia membuat satu dandang ketupat, selama Ramadhan bisa sampai tiga dandang.
“Satu dandang ini isinya bisa 1.500 ketupat,” katanya.
Erna dan suaminya Endang Subadri (50) sudah merintis usaha jual ketupat sejak 15 tahun silam. Usaha ketupat di Kebon Nanas, Cimahpar, Kota Bogor sudah turun temurun dilakukan oleh warga sekitar dimulai sejak era pemerintah Presiden Soeharto.
Awal mula nama Kampung Ketupat muncul karena warga sekitar berprofesi sebagai pembuat dan penjual ketupat. Yang diinisiasi oleh Pak Yahya Almarhum.
Pak Yahya adalah ayah dari Endang Subadri, atau mertua dari Erna. Sehari-hari berprofesi sebagai petani dan jualan lontong sayur.
“Awal mulanya bapak itu petani, karena sehari-hari tidak menentu pendapatannya, bapak coba-coba bikin ketupat, sampai sekarang jadi keterusan sama anak-anaknya, diikuti tetangga juga,” katanya.
Menurut Erna, ada sekitar lima pengrajin ketupat di Kebon Nanas, setiap hari membuat dan menjual ketupat rata-rata 1.500 biji.
Untuk membuat 1.500 ketupat dalam sehari, Erna dan pengrajin lainnya mengupahkan pembuatan ketupat ke tetangga mereka. 100 ketupat kosong diupah Rp2.500 di hari biasa. Karena permintaan meningkat upah naik menjadi Rp5.000 untuk 100 ketupat kosong.
Ketupat yang dijual Erna adalah ketupat yang sudah masak, atau siap makan. Harganya dari Rp7.000 naik menjadi Rp10 ribu untuk 10 ketupat ukuran kecil. Sedangkan ukuran besar bisa mencapai Rp25 ribu isi 10 ketupat.
Ketupat yang sudah matang dijual di Pasar Anyar. Pembelinya adalah pelanggan tetap Erna yang sudah memesan sejak awal, dan tak jarang konsumen baru.
Erna mengatakan, ia sedikit kewalahan untuk memenuhi permintaan pelanggan. Selain karena keterbatasan tenaga kerja, serta keterbatasan peralatan usaha. Seperti dandang untuk memasak, baru punya dua unit.
Satu unit dandang mampu memasarkan hingga 1.500 ketupat. Satu dandang membutuhkan waktu tujuh jam memasak menggunakan gas.
Walau masih kecil-kecilan, usaha ketupat milik Erna masih terus berlanjut di tengah banyak pengrajin ketupat yang gulung tikar karena tidak menjaga kualitas dan komitmen.
“Kebetulan kami tetap menjaga kualitas, kalau masak memang harus tujuh jam tidak boleh kurang, dan beras yang kami pakai beras IR64 yang kualitas bagus, jadi pelanggan puas,” katanya.
Erna ingin usahanya terus berkelanjutan, dia berharap suatu saat bisa punya ruko untuk jualan ketupat. Tetapi karena biayanya tinggi, ia mengalokasikan anggaran untuk pendidikan anaknya.
“Kalau jualan di pasar, yang namanya PKL itu sering kena gusur. Maunya saya punya ruko, bisa enak jualannya. Tapi biaya mahal,” kata ibu tiga anak ini.
Menariknya di Kampung Ketupat ini, ketika mendatanginya dapat terlihat sejumlah rumah warga yang sedang membuat ketupat dalam jumlah banyak. (Ant/Su02)