JAKARTA, SERUJI.CO.ID – Pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing mengatakan pemerintah harus melakukan literasi media digital untuk mencegah konflik horizontal.
“Sekalipun belum ada Paslon definitif Pilpres 2019, seolah genderang perang konten sosial media tampaknya sudah dimulai. Perang tagar Pilpres pun terjadi,” ujar Emrus Sihombing di Jakarta, Senin (16/4).
Tampaknya mereka sudah berhadap-hadapan. Di satu sisi ada #2019TetapJokowi, di sisi lain muncul #2019GantiPresiden.
Semua itu bertujuan untuk menguasai ruang publik. Bahkan mereka seolah sudah saling men-downgrade.
Ia mengatakan perang konten politik melalui berbagai sosial media yang sangat tidak produktif itu, sudah menjadi realitas komunikasi politik di ruang publik pada tahun-tahun politik di Indonesia.
“Merujuk pada realitas komunikasi politik yang sedang terjadi saat ini, menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah masyarakat pengguna sosial media sudah siap menyaring, memilah, memahami isi perang konten yang dimainkan oleh para elite politik melalui sosial media digital dunia maya, sehingga tidak menimbulkan ekses negatif di tengah masyarakat ke depan, seperti konflik horizontal, utamanya menjelang, saat, dan pasca pemungutan suara Pilpres 2019,” kata dia.
Untuk itu, sangat perlu menyusun strategi dan pelaksanaan literasi media digital dunia maya secara masif, sistematis, berkesinambungan, dan efektif di seluruh tanah air.
Ke depan (semakin mendekat jadwal pemungutan suara Pilpres 2019) intensitas perang konten akan semakin kuat (panas) antara aktor politik yang satu terhadap yang lain.
Untuk itu, kegiatan literasi media digital dunia maya harus dilakukan kepada seluruh rakyat Indonesia, baik bagi pegawai negeri maupun yang bukan, sehingga publik tidak tergiring pada perilaku komunikasi politik dari para politisi yang semata-mata orientasi kekuasaan itu.
“Tentu, sebaiknya leading sector berada di tangan Kemenkominfo dan di-backup oleh KPU-RI, Bawaslu-RI dan seluruh kementerian serta instansi pemerintah di pusat maupun di daerah. Lebih baik lagi bila kementerian atau instansi pemerintah tertentu lebih proaktif lebih baik,” kata dia.
Untuk dapat mencapai tujuan dengan baik, maka materi literasi media digital dunia maya, yang paling utama diketahui dan dipahami oleh masyarakat luas dalam rangka menangkal dampak negatif hiruk-pikuk wacana antar para politisi di ruang publik yang tampaknya akan semakin kencang menjelang tahun politik, antara lain, (1) mengenal ciri-ciri hoaks, ujaran kebencian dan eksploitasi SARA.
“Kiat menulis pendapat, informasi dan berita yang tidak bertentangan dengan UU ITE; etika komunikasi di ruang publik; dampak hoaks dan eksploitasi SARA pada masyarakat dan budaya; kecerdasan menggunakan sosial media dan menganalisis isi website; kemampuan membuat weblog dan mengisi konten multimedia,” kata dia.
Kemudian, teknik produksi konten video dengan kamera smartphone (HP) yang produktif dan menguasai penggunaan aplikasi editing video dan foto. (Ant/SU02)