JAKARTA, SERUJI.CO.ID – PT Krakatau Steel (Persero) Tbk terancam mengalami kerugian hingga Rp10 triluin akibat proyek blast furnace yang telah dibagun sejak tahun 2011 silam. Blast Furnance adalah pabrik pengolahan besi dengan sistem tanur tinggi yang meghasilkan hot metal.
Hal itu diungkapkan Komisaris Independen perusahaan yang melantai di bursa dengan kode KRAS, Roy Maningkas kepada media beberapa waktu lalu.
Menurut Roy, jika dilanjutkan proyek ini akan mengalami kerugian sekitar Rp1,3 triliun setiap tahunnya. Sedangkan jika dihentikan, maka perseroan akan kehilangan uang sekitar Rp10 triliun.
“Proyek ini maju kena mundur kena, diterusin Rp1,3 triliun ruginya tiap tahun, enggak diterusin Rp10 triliun hilang,” ujar Roy yang mengajukan pengunduran diri sebagai Komisaris KRAS saat ditemui di Kantor Kemen BUMN, Jakarta, Selasa (23/7).
Said Didu: Banyak Proyek Yang Kontraktornya dari China Merugi
Menanggapi hal tersebut, mantan Sekretaris Kementerian BUMN, M Said Didu mengatakan bahwa proyek blast furnace tersebut dikerjakan oleh kontraktor dari negara China.
“Dan kontraktor proyek tsb adalah dari China,” kata Said Didu lewat akun twitternya @msaid_didu menanggapi ciutan warganet yang membagikan berita kerugian KRAS tersebut, Sabtu (27/7).
Menurut Said Didu, banyak proyek yang kontraktornya dari China mengalami kerugian yang sama seperti yang dialami Krakatau Steel.
“Banyak proyek dari China alami hal yg sama, seperti banyak pembangkit PLN dan bus Transjakarta,” ujarnya.
Dan kontraktor proyek tsb adalah dari China. Banyak proyek dari China alami hal yg sama, spt banyak pembangkit PLN dan bus transjakarta. Tapi kalau dikritik dituduh SARA. SARA nya di mana ya? https://t.co/4HAyWnRyLU
— Muhammad Said Didu (@msaid_didu) July 27, 2019
Sayangnya, imbuh Said, saat banyak pihak sampaikan kritik tersebut, sering dituduh SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan).
“Tapi kalau dikritik dituduh SARA. SARA nya di mana ya?” tukasnya.
Dari penelusuran SERUJI, proyek blast furnace tersebut merupakan proyek Krakatau Steel yang dikerjakan sejak tahun 2011. Nilai investasi awal yang direncakan mencapai Rp5,92 triliun. Kontraktor pemenang tender pengerjaan proyek tersebut adalah perusahaan asal China.
Awalnya pabrik itu ditarget selesai dan mulai beroperasi pada riwulan I-2014. Namun, hingga saat ini pabrik yang memiliki kapasitas produksi sebesar 1,2 juta ton per tahun itu, belum juga beroperasi.