Titik balik tersebut juga dirasakan oleh Kahar (21) yang mengaku tinggal di Kampung Akuarium sejak lahir dan sejak tahun lalu dia mengontrak kamar indekos agar dekat dengan tempat kerjanya yang bergerak dibidang produksi jendela.
Pada tahun ini, dia memanfaatkan hari libur untuk bertemu kedua orang tuanya di Kampung Akuarium yang berkondisi lebih baik daripada 2 tahun belakangan.
“Ini lebaran pertama yang ada shelter sejak penggusuran, kisah sedih kemarin sudah mulai dilupakan,” kata Kahar.
Bahkan, pada tahun ini, menurut dia, relatif banyak warga setempat yang bisa berlebaran di kampung halamannya masing-masing dengan tenang.
“Memang setelah digusur, banyak yang sedih dan nangis, mereka semua bingung. Oleh karena itu, tidak mudik,” ujarnya.
Kampung Akuarium bersama tiga wilayah permukiman padat lainnya di dekat Pelabuhan Sunda Kelapa (Kampung Luar Batang, Pasar Ikan, dan kawasan Pasar Ikan) memang digusur sejak 2016 oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dibawah kepemimpinan Ahok. Warga korban gusuran yang ber-KTP DKI Jakarta diarahkan untuk menempati sejumlah rumah susun.
Kala itu Pemprov DKI Jakarta menyatakan pembongkaran kawasan-kawasan tersebut sah karena lokasi itu merupakan kawasan cagar budaya dan lahan pemerintah yang dicatat oleh beberapa sumber.
Nama Kampung Akuarium diambil dari sejarah lokasi tersebut yang pernah menjadi kompleks dan laboratorium penelitian berbagai jenis ikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan dilengkapi akuarium kaca berukuran besar.
Setelah kompleks penelitian itu dipindahkan ke kawasan Sunter Agung pada tahun 1978, kawasan tersebut beralih fungsi menjadi asrama polisi yang juga berumur tak lama. Lambat laun pada tahun 80-an warga mulai datang dan tinggal di kawasan tersebut hingga dibongkarnya pada tahun 2016.